Saat ini, kelapa sawit sangat penting peranannya bagi perekonomian Indonesia. Sebagai komoditas strategis dalam memenuhi kebutuhan minyak goreng dalam negeri dan penghasil devisa terbesar diluar migas. Sungguhpun tanaman ini sangat cocok tumbuh dan berkembang di hampir seluruh wilayah Indonesia, tapi kelapa sawit bukanlah tanaman asli berasal dari Indonesia. Tanaman ini baru ditanam secara komersial sekitar tahun 1911.
Meskipun demikian, perkataan sawit sudah ada sejak lama. Beberapa tempat atau desa di Jawa sudah ada yang menggunakan nama “sawit” sebelum kelapa sawit masuk ke Indonesia pada tahun 1848, ketika itu ditanam di Kebun Raya Bogor. Dalam bahasa Jawa Kawi “sawit” artinya sidhakep (kalung). Nama lain dalam bahasa Jawa adalah kelapa sewu dan dalam bahasa sunda sering disebut sebagai salak minyak atau kelapa ciung.
Kebun kelapa sawit pertama dibuka pada tahun 1911 di Tanah Itam Ulu oleh Maskapai Oliepalmen Cultuur dan di Pulau Raja oleh Maskapai Huilleries de Sumatera-RCMA, Sumatera Utara. Kemudian oleh Seumadam Cultuur Mij, Sungai Liput Cultuur Mij, Mapoli, Tanjung Genteng oleh Palmbomen Cultuur Mij, Madang Ara Cultuur Mij, Deli Muda oleh Huilleries de Deli, dan lain-lain. Semua perkebunan tersebut berlokasi di Sumatera Utara. Sampai tahun 1915, luas arealnya baru mencapai 2.715 ha yang ditanam bersamaan dengan kultura lainnya seperti kopi, karet, kelapa dan tembakau.
Pada tahun 1916 sudah ada 16 perusahaan di Sumatera Utara dan 3 perusahaan di Jawa. Kemudian pada tahun 1920, sudah ada sebanyak 25 perusahaan yang menanam kelapa sawit di Sumatera Timur, 8 di Aceh dan 1 di Sumatera Selatan yaitu Taba Pingin dekat Lubuk Linggau. Sampai tahun 1939 telah tercatat sekitar 66 perkebunan dengan luas areal sekitar 100.000 ha. Maskapai utama yang tercatat adalah HVA, RCMA, Socfindo, Asahan Cultuur Mij, LCB Mayang, Deli Mij dan Sungai Liput Cultuur Mij.
Masa penjajahan Jepang merupakan masa suram bagi perkemabangan perkebunan di Indonesia, dimana ekspor terhenti. Dan banyak kebun kelapa sawit diganti dengan tanaman pangan dan pabrik-pabrik tidak berjalan. Pada tahun 1947 kebun-kebun tersebut dikembalikan kepada pemiliknya semula. Setelah diinventarisir hanya 47 kebun saja yang dapat dibangun kembali dari 66 kebun sebelumnya. Beberapa kebun mengalami kehancuran total seperti Taba Pingin dan Oud Wassenar di Sumatera Selatan.Ophir di Sumatera Barat, Karang Inou di Aceh dan beberapa kebun di Riau.
Karena berbagai gangguan keamanan dan pergolakan politik waktu itu, maka upaya merehabilitasi oleh pemiliknya tidak banyak membawa hasil. Hal ini terlihat dari luas areal yang tidak bertambah. Sampai tahun 1957, luas areal kelapa sawit hanya 103.000 ha dengan produksi 160.000 ton minyak sawit. Berarti produktivitas per ha yang sangat rendah, hanya 1,9 ton, padahal sebelum perang, produktivitas sudah mencapai 3 ton.
Periode 1957 s/d 1968 merupakan era baru dalam perkembangan usha perkebunan. Dalam periode ini terjadi beberapa kejadian penting antara lain, 1) ambil alih atau nasionalisasi perusahaan perkebunan Belanda oleh pemerintah pada 10 Desember 1957. Hal ini dilaksanakan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian RI No.229/UM/1957. Kemudian diikuti ambil alih perusahaan milik pengusaha Inggris, Perancis, Belgia, Amerika, dll. Namun kemudian dikembalikan lagi pada tanggal 19 Desember 1967. 2) Reorganisasi perusahaan perkebunan negara (PNP/PTP) yaitu pada tahun 1957 – 1960 dengan pembentukan PPN Baru disamping PPN Lama yang sudah ada sebelumnya. Keduanya digabung pada tahun 1961-1962. Selanjutnya dibentuk organisasi baru berdasarkan komoditas seperti karet, aneka tanaman, tembakau, gula, dan serat. Hal ini berjalan sejak tahun 1963 sampai dengan 1968.
Masa ini adalah masa sulit, karena kultur teknis dan manajemen perkebunan kurang terkendali sebagai akibat suramnya perekonomian nasional dan pergolakan politik. Dan dengan pulihnya masalah keamanan dan politik setelah penumpasan G-30-S PKI serta munculnya kembali semangat membangun dari para pelaksana di lapangan (planters) banyak mengundan perhatian investor asing seperti Bank Dunia, ADB dan lain-lain untuk membantu pembangunan dan pengembangan kebun.
Program Pembangunan Lima Tahun (Pelita) yang dimulai tahun 1968 telah banyak membawa kemajuan. Pembukaan areal baru diluar areal tradisionil (Sumut, Aceh da Lampung) terus terjadi. Upaya pengembangan perkebunan besar swasta yang banyak terlantar terus dilakukan oleh Direktorat Jenderal Perkebunan. Dengan menyediakan fasilitas kredit dari Bank, mulai dilancarkan Program Pengembangan Perkebunan Besar Swasta Nasional Tahap I tahun 1977-1981 (PBSN I). PBSN II mulai 1981 s.d 1986 dan PBSN III mulai 1986 s.d 1989. Program ini berjalan cukup baik, disamping diversifikasi pengolahan (industri hilir) juga berkembang, sehingga bukan saja CPO yang dihasilkan tetapi juga produk lainnya seperti RBD Olein, Crude Stearin, Fatty Acid, dll.
Sementara itu, masyarakat tani mendapat kesempatan untuk mengelola perkebunan kelapa sawit melalui program Perusahaan Inti Rakyat (PIR-Bun). Dalam sistim PIR, perusahaan perkebunan besar sebagai inti ditugaskan untuk membangun dan memasarkan hasil kebun petani plasma. Sedangkan petani plasma harus mengelola kebunnya dengan baik dan memasarkan hasilnya melalui perusahaan inti.
Melihat perkembangan dan prospek kelapa sawit yang menjanjikan, saat ini usaha perkebunan kelapa sawit banyak diminati oleh investor. Masyarakat, terutama disekitar lokasi perkebunan, dengan swadaya sendiri juga semakin banyak yang mengusahakan kelapa sawit. Pemerintah dalam upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat dan menyediakan lapangan kerja, sejak tahun 2006 telah mencanangkan Program Revitalisasi Perkebunan, dimana kelapa sawit adalah salah satu komoditas yang masuk didalam program revitalisasi tersebut. Perkembangan kelapa sawit yang konsisten dan berkelanjutan akan menjadikan Indonesia sebagai produsen minyak kelapa sawit nomor satu di dunia. (Sumber : Media Perkebunan Cyber)
Kecambah Kelapa Sawit
Kecambah kelapa sawit yang baru tumbuh memiliki akar tunggang, tetapi akar ini mudah mati dan segera digantikan dengan akar serabut. Akar serabut memiliki sedikit percabangan, membentuk anyaman rapat dan tebal. Sebagian akar serabut tumbuh lurus kebawah dan sebagian tumbuh mendatar kearah samping. Jika aerasi cukup baik akar tanaman kelapa sawit dapat menembus kedalaman 8 meter didalam tanah, sedangkan yang tumbuh kesamping biasanya mencapai radius 16 meter. Kedalaman ini tergantung umur tanaman, sistem pemeliharaan dan aerasi tanah. Kelapa sawit termasuk tanaman monokotil maka batangnya tidak memiliki kambium dan pada umumnya tidak bercabang. Batang kelapa sawit tumbuh tegak lurus (phototropi) dibungkus oleh pelepah daun.
Perkebunan Kelapa Sawit Ramah Lingkungan Mungkinkah??
21022010Sebagai anggota komunitas masyarakat dan dunia, suatu lembaga bisnis sepatutnya peka terhadap setiap isu yang sedang berkembang. Sebagaimana kita ketahui bahwa sampai saat ini, keberadaan perkebunan kelapa sawit masih banyak disorot. Banyak yang beranggapan bahwa perkebunan kelapa sawit berseberangan dengan usaha pelestarian lingkungan, terutama hutan dan keragaman hayatinya. Kerusakan hutan beserta segala ekses buruknya diidentikkan dengan pembukaan lahan untuk kelapa sawit.
Degradasi lahan dan pencemaran lingkungan sebagai dampak sistem pertanian intensif akibat penggunaan bahan-bahan kimia sebagai faktor produksi yang cenderung berlebihan semakin disorot oleh masyarakat dunia. Bahkan kini mulai ada usaha kampanye pemboikotan bagi hasil produksi pertanian (dan hutan) yang tidak “ramah lingkungan”.
Trend pertanian organik juga sedang mewabah sekarang ini. Produk organik diberi nilai lebih oleh konsumen, tentu saja dengan harga yang lebih tinggi dan lebih mudah diterima masyarakat internasional. Sawit Premium merupakan produk dari sistem perkebunan Kelapa Sawit organik yang belum banyak disorot, namun penulis yakin bahwa trend tersebut di atas akan bergulir ke produk perkebunan termasuk minyak kelapa sawit beserta produk-produk turunannya. Saat ini Indonesia sudah berhasil mengekspor “kopi organik” dan diterima dengan baik pasar internasional.
Satu peluang bagi kita bahwa belum banyak perkebunan kelapa sawit yang membudidayakan secara organik, meskipun sebenarnya mungkin mereka sudah mulai berpikir, meneliti atau bahkan sudah mengembangkannya meskipun belum terekspos secara luas. Untuk itu, sudah saatnya kita bergerak ke arah pembangunan perkebunan kelapa sawit organik yang dengan tujuan menghasilkan produk kelapa sawit premium.Akan tetapi karena kelapa sawit merupakan tumbuhan yang rakus hara, untuk menghasilkan Sawit Premium memerlukan penelitian yang tersendiri dan tidak gampang serta perlu tahapan-tahapan atau sub-sub penelitian.
Penggunaan pupuk dan bahan kimia sebagai faktor produksi sebaiknya mulai dikurangi untuk kemudian digantikan oleh pupuk organik, pupuk hayati, dan pestisida nabati. Pupuk organik dapat berupa kompos (alam atau buatan), pupuk kandang, atau pupuk hijau. Pupuk hayati merupakan kultur mikroorganisme yang sudah teruji mempunyai peran istimewa dalam meningkatkan kesuburan tanah dan/atau tanaman.
Pembuatan kompos janjangan kosong yang mempunyai nilai strategis dan ekonomis serta erat kaitannya dengan kebijakan “Nir limbah Pabrik Kelapa Sawit”. Akan tetapi usaha ini hanya merupakan bagian dari rangkaian panjang “kerja berat” untuk membangun suatu perkebunan kelapa sawit ramah lingkungan…lebih-lebih perkebunan organik.
Perkebunan Kelapa Sawit Organik sepertinya memang tidak mungkin dibangun, mengingat kebutuhan nutrisi komoditi ini yang cukup besar. Anggaplah keperluan tanaman TBM yang berumur 3 tahun/tahun dipukul rata sebagai berikut : NPK = 3.0 kg ? N = 360 g, P = 360 g, K = 510 g, Mg = 60 g RP = 200 g ? P = 54 g MOP = 3 kg ? K = 1650 g
Kalau kita ingin organik, berarti minimal 75% unsur-unsur tersebut harus dipasok oleh pupuk non kimia. Dari standar di atas, berarti pupuk organik yang kita berikan harus mampu memasok unsur N = 270 g/th ; P = 310 g ; K = 1620 g ; 45 g. Untuk itu kita harus terlebih dulu tahu kandungan unsur hara pupuk organik (kompos, pupuk kandang, atau pupuk hasil tambang).
Merujuk hasil analisis Siregar (2002), kandungan nutrisi kompos janjangan kosong adalah sebagai berikut : N = 2.7 % ; P = 0.4 % ; K = 2.0 % ; Mg = 1.1%. Dengan menggunakan unsur N sebagai patokan berarti kita memerlukan kompos sebanyak 10 kg/th. Itu berarti P yang disediakan oleh kompos hanya 40 g, K hanya 200 g, dan Mg = 110 g. P dapat dipasok dengan pupuk RP atau pupuk Guano yang kadar P-nya tinggi, jadi tidak masalah. Sedangkan untuk unsur Kalium masih kurang 1420 g. Nah pupuk K ini dapat disuplai dengan pupuk hasil tambang (meskipun an organik namun bukan produksi pabrik, jadi seperti halnya dengan Rock Phospat), yang sekarang sudah diproduksi dengan kadar K2O = 22% dan Mg 11% diperlukan tambahan sebanyak kurang lebih 6.5 kg.
Angka-angka di atas hanya merupakan perhitungan kasar, yang belum memperhitungkan kelarutan dan efektifitas setiap jenis pupuk yang berbeda. Dengan kata lain, jumlah pupuk yang diperlukan untuk mencapai efektifitas setara dengan MOP pada sistem konvensional bisa jadi tidak sebesar hasil perhitungan di atas.
Pupuk kompos sebanyak 10 kg dapat dibagi menjadi 2 atau 3 kali aplikasi, jadi masing-masing 3 – 5 kg/aplikasi. Angka tersebut memang terkesan besar dan secara teknis lebih sulit dibandingkan pupuk kimia yang lebih ringkas. Akan tetapi hal tersebut dapat diatasi dengan pemrosesan kompos lebih lanjut dengan cara pengepresan atau pembuatan pelet (ditambah pupuk kandang), atau bahkan ekstraksi sehingga volumenya menjadi susut sehingga lebih memudahkan aplikasi di kebun.
Suplai unsur hara tidak hanya dari pupuk organik saja, namun kita dapat memperolehnya dari LCC yang efektif menambat nitrogen dari udara misalnya. Kemudian efektifitas penyerapan unsur P dan K dapat ditingkatkan melalui pemanfaatan mikro-organisme tertentu, dan masih banyak yang harus kita kaji : faktor-faktor apa saja (asal ramah lingkungan) yang dapat kita masukkan, dan sedapat mungkin menggunakan sumber daya lokal. Mungkin saja alang-alang dapat kita jadikan sebagai bahan untuk pupuk.
Selain itu berdasar informasi dari Ir. H Latief M Rachman., MBA., M.Sc., Ph.D (Staf Ahli Lingkungan), dengan memanfaatkan teknologi tertentu pupuk organik dapat diset jenis dan kandungan unsur haranya, sehingga mempermudah penyusunan program dan aplikasi pemupukan. Selain itu ada beberapa pihak yang menawarkan semacam wara laba industri pupuk organik dengan persyaratan tertentu (perlu dikaji secara mendalam lintas divisi).
Uraian di atas memberikan gambaran bahwa membangun “Organic Plantation” bukanlah hal yang mustahil, meskipun itu semua masih memerlukan penelitian dan kajian lebih lanjut. Bukan hanya kajian ilmiah mengenai pupuk dan tanaman saja, namun juga ketersediaan bahan baku, teknologi pembuatan, hitung-hitungan ekonominya, dan masih banyak lagi yang perlu kita pikirkan bersama.
Selain itu tingkat produksi bukan parameter tunggal untuk menilai keberhasilan suatu sistem pengelolaan. Mutu atau kualitas produk sebaiknya juga dijadikan tolok ukur, misalnya kandungan asam lemak bebas, b karoten, dan juga asam laurat, dll dari minyak yang dihasilkan.
Terkait dengan Sustainable Oil Palm Plantation yang di dalamnya dapat dimasukkan Perkebunan Kelapa Sawit Organik, sekarang sudah muncul suatu konsep mengenai kerangka kerja Perkebunan Kelapa sawit sebagai sistem pertanian yang presisi (A Conceptual Framework for Precision Agriculture in Oil Palm Plantations). Kerangka kerja ini lebih menekankan pada managemen kebun yang didasarkan pada kelengkapan dan pengelolaan serta pemanfaatan data secara rinci dan didasarkan pada asas field by field, atau bahkan palm by palm (produktifitas, sifat-sifat tanah, status keharaan daun, dll), untuk kurun waktu tertentu dan blok-blok tertentu sebagai sampel dan dijadikan pedoman bagi manager untuk mengelola kebun secara keseluruhan. Perlu digaris bawahi bahwa alokasi faktor-faktor produksi (pupuk, obat-obatan, dan input lainnya yang diperlukan) diberikan dalam jumlah dan jenis yang disesuaikan keadaan setiap satuan lahan (blok, divisi, atau kebun), dan bahkan tiap tanaman. Specific loca management (Fairhurst et al, 2002 and consulting with Ilham, 2004).
Dalam sistem pertanian (perkebunan) yang presisi, kelengkapan dan penguasaan teknologi informasi sangat penting dan sering menjadi hambatan, apalagi untuk diterapkan di perkebunan baru yang biasanya “terpencil”. Selain itu recording data yang teratur, disiplin, dan detil sangat diperlukan. Sebagai bahan renungan PT London Sumatra (Lonsum) sudah merintisnya selama puluhan tahun (Rosenquist et al., 1975 cit. Fairhurst et al, 2002) dengan menyusun data-data agronomi pada ‘clip card’.
Perkebunan organik belum tentu presisi dan begitu juga sebaliknya, meskipun perkebunan yang presisi akan cenderung lebih ramah lingkungan karena bersifatspesific loca. Idealnya kita berusaha membangun perkebunan (paling tidak kebun percontohan) organik yang presisi.
Pada bulan Oktober 2004, Indonesia menjadi tuan rumah Forum Rembug Kelapa Sawit Internasional (Roundtable on Sustainable Palm Oil) ke-2 setelah yang pertama diselenggarakan di Kuala Lumpur 22 Agustus 2003 yang lalu. Forum ini merupakan kesempatan baik bagi kita untuk menangkap dan menterjemahkan kemauan stake holders bagi pengembangan perkebunan kelapa sawit ke depan menuju perkebunan yang bertaraf dan diakui Internasional.
Cerita yang penuh hikmah, ringan namun menohok. Betul, memang kita selalu dikejar kematian hingga suatu saat tidak bisa menghindar lagi...
BalasHapus