Legenda Goa Putri (OKU, Baturaja, Sumater Selatan, Desa Padang Bindu)



I


Pagi itu sungguh cerah, mentari tak enggan menyapa ramah seisi bumi dengan sinarnya yang menyilaukan dari ufuk timur sana, menerobos celah tersisa antara dedaunan yang rapat sekaligus coba mengeringkan embun.
Seorang perempuan muda berparas jelita dan seorang wanita setengah baya terlihat asyik berjalan santai sambil bercengkrama.
“Akan kemana kita, Putri? Tak biasanya putri berjalan lama dan sejauh ini…” tanya wanita setengah baya itu disela pembicaraan mereka.
Putri Dayang Merindu, begitulah si perempuan muda akrab dikenal penduduk, tetap saja berjalan…
“Aku tahu kita berjalan semakin jauh dari istana, tidakkah bibi lihat suasana secerah ini, tidakkah bibi ingin menikmatinya juga…?”
“Iya putri, tapi apakah tadi putri sudah meminta ijin dari Sang Prabu, putri terlalu jauh meninggalkan istana tanpa pengawalan…”
Ada sedikit perubahan pada paras wajah sang putri saat mendengar kata-kata wanita setengah baya yang biasa dipanggilnya Bibi Nas itu, tapi sesaat kemudian dia tersenyum
“Bibi benar, tapi sekarang aku ingin sekali berdiri diatas jerambah gantung, memandang lepas Air Ogan yang mengalir dibawahnya…”
Belum sempat Bibi Nas menimpali, tiba-tiba saja dari kejauhan tampak 6 orang prajurit mendekati mereka.
Terhembus nafas berat dari Sang Putri, kedatangan mereka adalah pertanda keinginannya pagi ini takkan tercapai.
“Maaf Putri, kami diperintahkan Sang Prabu menjemput Putri”.
*
“Ading… kakang hari ini juga akan kembali ke kerajaan, istana sedang membutuhkan kakang disana…”
Prabu Amir Rasyid memecah kesunyian, dia menghampiri Putri Dayang Merindu yang tengah duduk di Pembaringan, duduk disebelah putri yang sedang terpekur sedih.
“Kapan kakang akan kesini lagi…?”
“Tak tahulah ading… secepatnya kakang akan menjenguk ading lagi…”
Putri Dayang Merindu berdiam diri, pandangan matanya kosong.
“Ada apa gerangan, ading?”
“Tidak ada apa-apa kakang, hanya saja kali ini ading merasa begitu sedih, sepertinya kita takkan pernah bertemu lagi setelah perpisahan ini…”
“Jangan berkata seperti itu, kakang akan baik-baik saja begitupun dirimu… Kakang juga takkan pernah lupa untuk mengirimkan semua kebutuhanmu” sahut Prabu Amir Rasyid sambil mengusap-usap rambut panjang Putri Dayang Merindu.
“Kang… Bolehkah ading meminta sesuatu sebelum kakang berangkat ke kerajaan?”
“Apa itu, adingku?”
“Temani ading melihat-lihat Air Ogan dari atas Jembatan Gantung”
*
Putri Dayang Merindu adalah salah satu selir Prabu Amir Rasyid yang juga mantan salah satu dari dayang Prabu Amir Rasyid, Raja Kerajaan Ogan, ia memiliki kecantikan luar biasa dan berkepribadian baik. Karena itulah Prabu Amir Rasyid sangat menyayangi Putri Dayang Merindu dan lantas menjadikan Putri Dayang Merindu menjadi selir dari status dayang sebelumnya. Perhatian yang lebih kepada Sang Putri tentu saja mengundang reaksi dari para dayang lain, para selir bahkan Permaisuri yang juga ikut merasa tersisih. Kabar-kabar tak sedap pun beredar didalam istana bahkan bocor sampai ke telinga Rakyat. Putri Dayang Merindu akan disingkirkan secara diam-diam! Berita itu sampai kepada Prabu Amir Rasyid dan membuatnya murka. Raja memberikan peringatan keras terhadap siapa saja yang mengancam keselamatan Putri Dayang Merindu. Tapi tidak hanya itu, diam-diam Raja pun membangun sebuah istana kecil untuk Sang Putri untuk menghindari kemungkinan buruk yang dapat terjadi bila Putri Dayang Merindu tetap berada diistana kerajaan. Sesuai rencana Prabu Amir Rasyid, begitu Istana Suhuman, istana yang dibangun Prabu Amir Rasyid untuk sang putri, selesai maka Sang Putri pun dipindahkan oleh Sang Prabu dari Istana Kerajaan untuk menempatinya. Sebuah istana yang sesuai namanya seolah menjadi tempat persembunyian, Prabu Amir sengaja menentukan lokasi jauh dari pemukiman masyarakat agar Sang Putri mendapatkan ketenangan tanpa harus terganggu dengan hingar bingar keramaian aktifitas masyarakat, selain itu Istana Suhuman juga didirikan di Dusun Padang Bindu yang merupakan tempat Putri Dayang Merindu dilahirkan dan dibesarkan sampai akhirnya disunting oleh Sang Prabu, dibawa keistana kerajaan untuk menjadi dayangnya.
*
Itulah mengapa Putri Dayang Merindu harus mendiami istananya dan harus siap banyak melewati waktu tanpa Prabu Amir Rasyid menemaninya, seperti hari ini perpisahan untuk kesekiankalinya pun harus terjadi…



II


Rumah itu hampir menyerupai sebuah istana kecil, yang membedakannya mungkin hanyalah tidak adanya prajurit yang berjaga disekitar rumah itu. Lawang masuk layaknya sebuah gerbang lengkap dengan gapura berukir naga dan dibiarkan tanpa daun lawang sehingga semua orang dapat masuk dengan begitu saja kedalamnya setiap saat tanpa harus mengetuk terlebih dahulu. Tapi kenyataannya tidaklah begitu, rumah itu adalah kediaman Ni Sewu Sakti, seorang tokoh sakti tanah jawa yang disegani oleh semua orang di saentero nusantara. Sangat jarang ada orang yang mendekati rumah itu selain ada keperluan penting. Orang yang menyambangi kediaman Nenek Tua ini juga bukan tujuan biasa, melainkan untuk meminta bantuan jasa kesaktian si nenek ataupun meminta agar si nenek bersedia menjadi guru bagi mereka.
Seorang pemuda berpakaian ringkas serba hitam menghentikan langkahnya tepat didepan gerbang, matanya memandang ukir-ukiran naga dan sesaat kemudian terlihat kepalanya mengangguk-angguk seolah memastikan bahwa rumah itu benar adalah yang ia cari.
Kemudian si pemuda mengubah posisi tubuhnya membungkuk tak ubahnya bentuk orang yang menjura hormat, lantas ia berkata pelan…
“Ni Sewu, hamba Hang Serunting, datang jauh dari Bumi Sriwidjaya sengaja berniat mengunjungi Nini guna sebuah tujuan yang kiranya tak sopan bila hamba sebutkan disini, yang hamba yakini sudahpun Nini ketahui sendiri sebelum hamba mengutarakannya. Bila kiranya nini berkenan menerima tamu seperti hamba biarkanlah hamba masuk kedalam meskipun itu hanya untuk bertatap muka dengan nini saja, demìkian juga kiranya bila nini tidak berkenan, berikanlah hamba siksa karena telah lancang menginjakkan kaki hamba yang kotor di istana nini yang megah ini…”
Usai berkata seperti itu, Si Pemuda beranjak dari tempat ia menjura hormat dan dengan langkah yang tak mengurangi kesan hormat perlahan melewati gerbang dan memasuki rumah itu.
*
“Anak muda, kau begitu pandai memilih kata, cara bicara dan sikap tubuhmu menggambarkan kesopanan tapi aku tak melihat itu dalam jiwamu yang sebenarnya, kau pandai memakai topeng untuk menutupi yang memang harus kau sembunyikan guna suatu tujuan tapi kau tentu tahu kalau aku takkan bisa dibohongi.”
Hang Serunting hanya bisa tertunduk mendengar kata-kata Ni Sewu Sakti, nenek tua yang berdiri 6 kaki didepannya.
“Mulutmu begitu manis tapi lidahmu sangat pahit, dalam jiwamu penuh kelicikan serta ambisi yang harusnya kau singkirkan…”
Keringat dingin mulai bercucupan dari tubuh Hang Serunting. Masih tak berani menatap mata Ni Sewu Sakti.
“Maafkan hamba Nini, bukan maksud untuk memperdaya Nini, hamba telah lancang ingin meminta sedikit ilmu dari Nini tanpa melihat diri saya sendiri, hamba memang bukan orang yang dapat dikatakan berhati mulia. Sekali lagi maafkan hamba, bila Nini ingin memberikan hukuman pada hamba itu sudah selayaknya dan akan hamba terima atau biarkanlah hamba pergi untuk kembali lagi nanti dengan perubahan jiwa yang lebih bersih…”
“Ya, kau tahu aku takkan pernah mau menjadikanmu murid, baik sekarang maupun nanti. Tidak akan pernah! Aku takkan pernah memberimu sedikitpun ilmu hingga kau tidak boleh menyebutku sebagai guru. Tapi aku menerimamu sebagai tamu jauh dan kau berhak mendapatkan jamuan dariku, bukan hukuman. Waktuku tak banyak, kau boleh tidur terlebih dahulu disini untuk melepaskan penat dan sebangun dari itu kau harus segera pergi dan melupakan pertemuan ini.”
Usai berkata seperti itu tiba-tiba saja Ni Sewu Sakti menghilang bersamaan dengan sebotol air ramuan berwarna hijau yang entah kapan datangnya tiba-tiba sudah ada didekat Hang Serunting.
Berpikir bahwa sebotol air hijau itu adalah jamuan yang dimaksudkan, Hang Serunting cepat mengmbil jamuan itu, sebelum ia menegak air dalam botol itu diam mengucapkan rasa terima kasihnya pada Ni Sewu Sakti
“Sebuah kehormatan bagiku Nini bersedia menerima aku sebagai tamu, terima kasih untuk waktu Nini, berikut jamuannya. Biarlah setelah meminum ini hamba kembali ke penginapan untuk beristirahat…”
Hang Serunting membuka tutup botol dan langsung menegak isinya. Dapat dirasakannya air itu begitu pahit, tapi demi menghormati Ni Sewu Sakti ia bertahan untuk menghabiskan air itu. Bahkan ia tak tahu akhirnya air dalam botol itu sudah dihabiskan atau belum, karena kemudian ia segera tak sadarkan diri. Sebelum tak sadarkan diri ia teringang kata-kata Ni Sewu Sakti
“Mulutmu begitu manis tapi lidahmu sangat pahit… Lidahmu sangat pahit…”



III


“Pergi saja kau dari daerah ini, memalukan, apa yang bisa kau lakukan selain merusak nama kehormatan keluarga kita!!!”
Bentakan itu terdengar begitu nyaring, angin malam yang bertiup kencangpun tak cukup meredamnya. Disusul kemudian keluarlah seorang pemuda dari rumah itu, dengan tergesa-gesa segera beranjak meninggalkan tempat itu…
Hang Serunting menghela nafasnya dalam-dalam, peristiwa itu masih saja selalu terkenang dibenaknya. Adalah Hang Natra, kakaknya nomor dua, yang telah mengusirnya setelah peristiwa perampokan yang Hang Serunting lakukan. Sebenarnya saat itu dia mau melawan tapi ia sadar bahwa Hang Natra memiliki kepandaian silat yang jauh diatas dia, niat itupun diurungkan. Hingga akhirnya dia memilih untuk pergi membawa dendam terhadap kakaknya sendiri, Hang Natra, mencari ilmu agar kelak dapat membalas sang kakak.
Hang Serunting tercenung, kemarin ia telah pun sampai ketanah jawa dan mencoba peruntungan agar bisa diangkat murid oleh Ni Sewu Sakti, tapi apa hasil? Dia ditolak bahkan dikerjai oleh Nenek Sakti itu melalui ‘jamuan’ yang membuatnya tak sadarkan diri hampir seharian.
Tak tahu harus melangkahkan kaki kemana membuat Hang Serunting pun kembali ke Tanah Sumatera, tapi tetap dengan dendam yang terjaga…
*
Suara derap kaki kuda itu menghentikan lamunan Hang Serunting yang tengah menyusuri sawangan, dilihatnya dari kejauhan dua ekor kuda dengan masing-masing penunggangnya yang sebentar lagi tentunya akan melewati dia, ah dia butuh bantuan untuk menumpang pada salah satu kuda guna mempercepat jalannya menuju dusun terdekat dan mencari makan disana.
Sepasang kuda itu semakin dekat, Hang Serunting segera menggerakkan tangannya menunjukkan isyarat menyuruh berhenti, tapi dua kuda itu tetap dipacu kencang oleh penunggangnya yang ternyata adalah sepasang muda-mudi, tak memperdulikan Hang Serunting. Saat mereka tepat berada disamping Hang Serunting, Hang Serunting keluarkan suara keras
“Hei, berhenti dulu!!”
Tapi tetap saja sepasang muda-mudi itu tak memperdulikan, bahkan mereka bersikap seolah tidak sama sekali melihat Hang Serunting.
Tentu saja Hang Serunting kesal, tapi dia hanya bisa mengupat tanpa bisa berbuat banyak untuk kekesalannya.
“Mereka tak melihatku, mereka tak mendengarku, seperti batu saja…”
Hang Serunting terus memandangi sepasang muda-mudi itu sampai kemudian ia menyaksikan suatu hal yang ia sendiri sulit mempercayainya, sepasang muda-mudi yang tengah menunggangi kudanya masing-masing itu tiba-tiba berhenti berikut juga kudanya, tak bergeming sama sekali.
Hang Serunting pun mendekati mereka, dan menemukan fakta bahwa sepasang muda-mudi berikut kuda yang ditunggangi itu telah menjadi batu!
*
Putri Dayang Merindu bangkit dari pembaringannya, entah mengapa dia merasakan gelisah dan tiba-tiba saja teringat pada Prabu Amir Rasyid. Dia berjalan keluar dari kamar, dan melihat Bibi Nas tengah memberi makan Himau Jage, Harimau jinak kesayangannya yang sengaja ditempatkan Prabu Amir Rasyid untuk menjaga dirinya selain juga tentunya para prajurit.
Putri menghampiri mereka, ia mengelus kepala Harimau Penjaga itu, mata Himau Jage berkedip dan memandang sayu pada Sang Putri.
“Belakangan ini, Himau Jage tak mau makan putri, hamba cemas… Dia semakin kurus saja!” berbicara Bik Nas pada Sang Putri.
“Kenapa kau tak mau makan, Himau. Sinar matamu juga tak seterang biasanya, apa kau juga dapat merasakan kegelisahanku…” berujar Sang Putri pada Himau Jage yg hanya membalas dengan mengedipkan kedua matanya.
“Maaf kalau hamba lancang putri, kalau Putri sudi, hendaknya Putri menceriterakan gerangan apa kesedihan putri pada hamba, siapa tahu hamba bisa coba bantu sedikit menghibur Putri…”
“Entahlah Bik Nas, aku tak tahu apa kiranya yang mengganjal dihati ini sehingga bisa merasakan perasaan tak enak seperti ini, aku selalu teringat akan Kakang Prabu dan merasakan sedih karenanya.”
“Putri hanya merasakan rindu, atau mungkin dikerajaan sedang ada masalah yang mengusik Baginda Prabu dan Putri dapat merasakan itu, semua akan baik-baik saja Putri”
Perhatian Putri Dayang Merindu dan Bibi Nas tiba-tiba teralih pada seorang Prajurit datang menghampiri mereka dan segera duduk mengambil sikap hormat didepan Putri dan Bibi Nas.
“Maaf Purti, Hamba membawa sepucuk surat dari Baginda Prabu untuk diberikan pada Putri” Ujar Si Prajurit seraya menjulurkan kedua tangannya pada Putri guna memberikan sepucuk surat yang ada ditangannya.
Ada gerangan apa kiranya, Paman?” Sahut Purti seraya menyambut sepucuk surat itu.
“Hamba tidak tahu, Putri, hanya saja tadi ada 2 pucuk surat dan adapun surat yang satu lagi sudah disampaikan pada Paman Hang Supa seperti yang diamanatkan Baginda Prabu.”
“Hei, mengapa kedua matamu berlinang, Himau??!!”



IV
Sepasang muda-mudi tampak asyik bercengkrama sambil tetap memacu kudanya masing-masing dengan pelan, tak jauh dibelakang mereka tampak terlihat 12 orang berpakaian prajurit yang juga berkuda mengikuti. Sepasang muda-mudi itu adalah Karna Metra, Putra Mahkota Kerajaan Kemuning, bersama kekasihnya, yang pada hari itu tengah berjalan-jalan untuk mencari kebahagiaan dengan melewati hari secara bersama.
Ketika mereka melintasi sebuah kedai nasi, tampak Karna Metra menghentikan kudanya dan segera memberi isyarat kearah rombongan prajurit untuk menghampirinya. Salah seorang dari prajurit turun dari kudanya dan segera saja mendekat kearah Karna Metra.
“Paman, aku hanya ingin berdua saja dengan Karin, kalian tunggu saja disini, makanlah sepuasnya dan beristirahatlah sambil menungguku kembali…” ujar Karna Metra
“ Tidak, Pangeran. Kami dititahkan oleh Paduka Raja untuk sekejappun tidak melepaskan pandangan dari Pangeran. Kami tidak berani membantahnya.” Jawab Si Prajurit yang tak lain adalah Kepala Prajurit dari Rombongan Pengawal Putra Mahkota.
“Tidak akan terjadi apa-apa, Paman. Kami hanya ingin melihat Danau diujung desa ini. Lagipula bukankah tak akan ada yang tahu hal ini…”
“Tidak, kami tidak berani membantah titah paduka, tolong mengerti kami, Pangeran.”
“Sedikit saja dalam waktuku, tak adakah yang tanpa pengawasan, aku iri pada pemuda desa yang bebas kemana saja sendirian ataupun hanya berdua dengan kekasihnya. Paman, haruskah aku memohon padamu untuk hal ini…”
Perbincangan mereka berjalan cukup alot. Akhirnya Kepala Prajurit itu mengalah dan membiarkan Karna Metra melanjutkan kebersamaan dengan kekasihnya hanya berdua saja, ia bersama para prajurit yang lain pun menunggu kembalinya pangeran dikedai nasi itu, seperti yang dipinta Karna Metra.
Sebuah penantian tak berujung karena Sang Pangeran dan kekasihnya ternyata tak akan pernah kembali kekedai untuk hari itu, besok maupun selamanya. Sebuah kelalaian yang berujung maut bagi rombongan prajurit itu karena esoknya mereka harus rela dihukum pancung oleh Prabu Ansa yang marah besar karena Karna Metra, Putra Kesayangannya yang akan didaulat menjadi Raja berikutnya Kerajaan Kemuning, ditemukan sudah menjadi Batu bersama kekasihnya.
****
Berita menghebohkan tentang Pangeran Karna Metra, Putra Mahkota Kerajaan Kemuning yang menjadi Batu bersama kekasihnya saat tengah menunggangi kuda menjadi topik pembicaraan yang dibahas oleh hampir semua orang. Apa penyebabnya menjadi sebuah pertanyaan tanpa jawaban, sayembara yang diadakan Kerajaan Kemuning pun tidak dapat mampu untuk menemukan titik terangnya. Berita itu menyebar luas, dari mulut ke mulut segera saja sampai ke Derah Ogan. Belum lagi dingin berita itu, muncul lagi peristiwa-peristiwa serupa berikutnya, ada begitu banyak kejadian aneh dengan kasus yang sama, entah itu manusia, hewan, ataupun benda, semuanya menjadi batu! Mau tak mau tentu saja hal ini menimbulkan keresahan bagi masyarakat, setiap kepala berpikir bisa saja berikutnya merekalah yang akan menjadi batu. Tapi itu tetap hanyalah sebuah ketakutan tanpa pemecahan, mereka tak tahu apa yang harus dilakukan sebagai langkah pencegahan karena yang menyebabkan fenomena ini terjadi sama sekali tidak diketahui.
****
“Ading Merindu… Kakang kirimkan surat ini sebagai pengganti kakang yang belum bisa pulang. Menyampaikan risau yang kakang rasakan, gerangan yang dikarenakan kakang tak bisa mengenyahkan bayangan sendu wajah ading yang dipenuhi kegelisahan sebelum kakang pergi kemarin. Terlebih lagi duka Kerajaan Kemuning, Ananda Prabu Ansa membatu raga, dan kejadian-kejadian serupa berikutnya yang bila diperhatikan semakin bergerak mendekati daerah kita. Ketakutan itu ada, karenanya kakang minta pada ading untuk tidak meninggalkan Suhuman dalam waktu dekat, terlebih lagi tanpa pengawalan seperti yang sering ading lakukan. Untuk itu, tadi kakang juga telah berkirim pesan pada Paman Hang Supa untuk lebih meningkatkan pengamanan Suhuman dan pengawalan terhadap ading tentunya.
Ading Merindu… Malam tadi kakang bermimpi ading mandi di Air Ogan, dibawah jerambah gantung tempat dimana kemarin kita berdiri, ading tersenyum pada kakang dan kakang terjaga, dan entah mengapa kakang merasakan gelisah karenanya. Tapi hal itu tentunya dikarenakan rindu yang bersemayam dihati kakang, semuanya akan baik-baik saja. Tembang Rindu Padang Bindu…. Kita akan bersama lagi ahad depan”
Putri Dayang Merindu menyeka air matanya yang tanpa terasa menetes dan menyisir pipinya saat membaca Surat dari Prabu Amir Rasyid, apa yang ia rasakan saat ini hanyalah kegelisahan yang belakangan ini tak pernah mau pergi darinya.
*
Hang Serunting tampak terlihat duduk dibawah sebuah pohon rindang yang melindunginya dari sengatan panas sinar matahari, dia terpekur pandangan matanya yang kosong. Ribuan pertanyaan ada dipikirannya tentang hal-hal aneh yang belakangan terjadi padanya.
Mengapa setiap umpatannya yang menyebut kata-kata batu didalamnya selalu menjadi kenyataan? Apa yang ada didalam dirinya hingga bisa melakukan itu? Mungkinkah Jamuan Hijau dari Ni Sewu Sakti tempo hari yang menyebabkannya?
Dua kejadian aneh pertama ia memang belum menyadari keanehan didalam dirinya, tapi kejadian ketiga manakala ia diacuhkan oleh seorang pemburu dan mengeluarkan umpatan yang membuat si pemburu seketika itu juga menjadi batu membuat ia menyadari “kelebihan sekaligus kekurangan” itu. Karenanya ia pun berusaha menjaga ucapan, tapi tetap saja dua kejadian berikutnya menyusul karena ia tak sanggup mengendalikan emosinya.
Dari hati kecilnya mengeluhkan itu, pada dasarnya ia lelaki baik, hanya saja selalu sulit dalam mengendalikan emosi, dia bukan tergolong orang yang sabaran dalam melakukan sesuatu, hingga seingkali bertindak kasar dan tak jarang mengambil jalan pintas untuk mendapatkan yang ia inginkan.
Itu bukan yang ia inginkan, ia bahkan tak pernah berpikir untuk melakukan misi balas dendamnya kepada Hang Natra kakaknya dengan dengan cara itu, yang tentunya akan sangat mudah ia lakukan bila memang ia mau.
Hang Serunting bangkit dari tempatnya manakala ia sadari matahari sudah tidak begitu menyengat lagi, mengayunkan kakinya kearah utara… langkah yang tak lama lagi akan membawa ia memasuki Daerah Ogan….




V
Suara merdu itu ikut menghiasi pagi yang cerah disekitar Istana Suhuman, terlebih lagi suara itu berasal dari mulut Putri Dayang Merindu. Seisi istana tersenyum mendengarnya, itu adalah pertanda perubahan yang baik bagi istana yang sepekan belakangan kehilangan suara emas itu. Keceriaan yang tersirat itu tentu saja mengakhiri periode muram istana yang seolah ikut tak bergairah  seiring kesedihan Sang Putri dan hari ini itu telah berakhir…
Putri Dayang Merindu menghampiri Bik Nas yang tengah menyiapkan jamuan makan pagi untuk Sang Putri
“Nah gitu dong, Putri. Semua orang pada senang kalau putri kembali ceria seperti ini…” sapa Bik Nas mendahului Putri Dayang Merindu yang sudah hendak menyapa Bik Nas.
“Besok kakang datang, itu yang membuat Putri begitu senang. Belakangan Putri memang mengkhawatirkan sesuatu yang tak beralasan. Maafkan Putri sudah membuat cemas bibik dengan kegelisahan itu…”
“Gak ada yang perlu dimaafkan,  kegelisahan yang Putri rasakan bukanlah kesalahan melainkan  hanya sebuah kepekaan hati yang dapat menghampiri setiap orang…”
“Bik… Putri mau ke Dusun, sudah lama rasanya tak berkumpul dengan keluarga…”
…..
Paman Hang Supa menghela nafas panjang. Titah dari Raja mengharuskan dia tidak membiarkan Putri Dayang Merindu keluar dari Istana dalam selain untuk urusan penting keluarga yang dalam hal ini hanyalah perihal sakit keras dan kematian dari pihak keluarga Putri Dayang Merindu, tapi kali ini Putri ingin berjumpa dengan keluarganya dalam kondisi yang normal. Sebenarnya mudah saja Paman Hang Supa bila ingin memutuskan tidak memberi ijin, tapi mengingat keceriaan Sang Putri yang baru kembali setelah sepekan belakangan dirundung kesedihan, Paman Hang Supa takut itu akan mengembalikan kesedihan Sang Putri.
“Baiklah, Putri… Biar beberapa prajurit yang akan pergi ke Dusun guna mengajak kiranya keluarga besar Putri berkumpul disini…” ujar Paman Hang Supa coba mengambil jalan tengah dari kebingungannya.
“Paman, jikalah itu hanya diperuntukkan kepada adik-adik putri saja mungkin tak mengapa, tapi apakah tidak kurang sopan jika gerangan seperti ini diberlakukan juga bagi kakak apalagi orang tua putri?” timpal Putri Dayang Merindu
Menyadari maksud dan kebenaran kata-kata Putri Dayang Merindu, Paman Hang Supa akhirnya tak bisa berkata apa-apa, hal yang terbaik yang bisa dia lakukan adalah menjaga keceriaan Putri Dayang Merindu, dia pun mengambil keputusan berani dengan mengijinkan Putri Dayang Merindu menjenguk keluarganya di Dusun, diseberang Suhuman, tetapi tentu saja dengan pengawalan dari dia sendiri dan beberapa prajurit.
….
“Huft! Panas sekali hari ini….” Gerutu Hang Serunting sambil menyeka peluh yang bersemimbah dikeningnya. Diatas sana matahari bersinar begitu menyilaukan seakan ingin membakar seisi bumi dengan panasnya yang luar biasa. Kakinya terus melangkah menyusuri tepi jalanan sebuah desa yang terlihat begitu sepi. Rumah-rumah panggung yang sepertinya menjadi rumah khas daerah itu tampak berjajar gagah menyambut seorang tamu asing seperti dirinya. Terlebih dari yang ia perhatikan, disadari oleh Hang Serunting bahwa sedari tadi sangat jarang ia melihat seorang laki-laki, yang ada hanya para wanita dan anak-anak kecil yang tengah bercengkrama bersama teman-temannya, duduk santai di lintut rumah atau pun bermain-main di tengalaman. Hingga sampailah ia disebuah kalangan, matanya cepat mencari kedai nasi, saatnya bagi dia untuk memanjakan perutnya yang dari tadi terus saja berontak meminta makanan.
“Ini desa apa, pak?” Tanya Hang Serunting pada pelayan yang menghidangkan nasi untuknya.
“Ini Curup Mulia, dek.” Jawab pelayan itu ringkas. Sebuah nama desa yang sama sekali asing ditelinga Hang Serunting. Tadi tanpa sengaja dia menyusuri aliran sungai daerah hingga akhirnya sampailah ia pada tempat dia berada sekarang.
“Daerah mana?”
“Ogan Ulu, memang adek dari mana dan mau kemana?”
“Saya baru saja pulang dari tanah jawa dan tidak tahu harus kemana….” Tukas Hang Serunting sambil segera saja menyuapkan nasi kedalam mulutnya, membuat Si Pelayan yang sebenarnya masih hendak bertanya mengurungkan niatnya dan segera berbalik guna melayani pengunjung lainnya.
“Adik, ayo kita mandi di air ogan. Ayuk sudah rindu kesegarannya…” ajak Putri Dayang Merindu pada Putri Desta adiknya.
“Tapi tidakkah mereka akan melarang ayuk untuk mandi ke air?” timpal Putri Desta
“Jangan sampai mereka tahu, kita ambil jalan memutar lewat gelanggung…” Cetus Putri Dayang Merindu.
Desa Padang Bindu merupakan desa terbesar dikawasan Daerah Ogan Ulu, rumah-rumahnya rapat bersusun layaknya barisan orang sholat berjamaah. Tak heran jika penduduk membuat jalan-jalan kecil yang akan mempermudah mereka untuk kemana-kemana.
Purti Desta segera saja menyambut ide Sang Ayuk dengan gembira, untuk tak lama kemudian mereka secara diam-diam menghilang dari rumah menuju Pangkalan.

VI (1)
Hang Natra terus saja mengikuti Hang Serunting secara diam-diam, malam tadi ia mengusir Sang Adik melalui sebuah pertengkaran kecil. Hang Serunting yang dimarahinya karena kedapatan merampok seorang saudagar kaya asal desa tetangga itu lantas pergi meninggalkan rumah. Tapi ternyata Hang  Natra tak cukup berpuas diri dengan kepergian Hang Serunting, diam-diam ia mengikuti adiknya itu, ia takut kegilaan yang dilakukan Hang Serunting malah semakin menjadi. Semalaman ia mengikuti Hang Serunting yang berjalan tak tahu arah, semakin lama semakin jauh dan semakin membingungkan, hingga terang datang meyakinkan bahwa ia telah terbawa ke sebuah daerah asing tepian sebuah sungai.
Dilihatnya sang adik bergerak mendekati tepian sungai, menghampiri sebuah batu besar dan duduk diatasnya. Hang Natra terus memperhatikan wajah sendu sang adik dari tempat ia bersembunyi, Hang Serunting tampak terpekur memandang kosong kearah air sungai yang mengalir menimbulkan perasaan iba dan bersalah pada diri Hang Natra. Ingin rasanya dia segera keluar menghampiri adiknya, meminta maaf dan mengajaknya pulang.
Suara ayam yang tengah mencari makanan mengais diantara sesampahan itu cukup membuat Hang Serunting sedikit terganggu dan lantas mengalihkan pandangannya.
“Diam kau ayam, mengganggu saja, lebih baik kau menjadi batu!”
Apa yang selanjutnya disaksikan oleh Hang Natra adalah hal yang sangat mengejutkan, suara ayam itu segera saja menghilang menyusul juga gerakan dari ayam tersebut. Benarkah ayam itu menjadi batu seperti ucapan adiknya? Ilmu apa yang dipakai adiknya?
Hang Natra tak begitu pedulikan itu, dia segera menghampiri Hang Serunting yang tentu saja sangat terkejut mendapati kemunculannya.
“Adik mari kita pulang, maafkan khilaf kakang semalam…”
Hang Serunting beringsut menjauh…
“Tidak! Aku tak mau pulang. Tak semudah itu aku bisa memaafkanmu. Segera kau pergi dan jangan pedulikan aku lagi…”
Hang Natra sempat menyapukan pandangannya kearah ayam tadi yang tarnyata benar saja sudah tak bergerak sama sekali, sudah menjadi batu.
“Kakang mengaku salah, malam tadi tak seharusnya kakang sampai mengusirmu… mari kita pulang…”
“Sudah kukatakan, Aku tak mau pulang! Apa  kau juga sudah menjadi Batu hingga tak mendengar aku!” Jawab Hang Serunting ketus, bersamaan dengan itu juga Hang Natra merasakan sekujur tubuhnya perlahan menjadi dingin, mulutnya tak dapat digerakkan untuk menimpali kata-kata sang adik, sekujur tubuhnya mulai menjadi kaku. Pandangannya pun mulai gelap, sayup-sayup ia masih sempat mendengar suara tawa kemenangan Hang Serunting sebelum akhirnya kesadarannya hilang sama sekali.
.oO
Hang Natra menyeka keringat diwajahnya, nafasnya masih tersengal-sengal. Masih diatas pembaringan, dia terduduk memikirkan mimpi buruk yang baru saja menghampirinya.
“Mungkinkah dia?” Gumam Hang Natra coba mengaitkan beberapa kejadian menggemparkan belakangan ini dengan adiknya. Ada begitu banyak kejadian “Menjadi Batu”, dari Putra Mahkota hingga Rakyat Jelata, mimpi tadi mau tidak mau, percaya tidak percaya menjadi semacam petunjuk bagi Hang Natra. Apa yang harus dia lakukan dan dimana juga dia bisa menemukan Hang Serunting. Mungkinkah dia harus mengganggap ini sebagai mimpi biasa dan tak memperdulikannya sedangkan mimpi tadi telah membuat ia menjadi ikut merasa bersalah dengan semua kejadian menggemparkan itu. Dia harus bergerak menemukan keberadaan Hang Serunting, mencoba mengingat-ingat lagi daerah dalam mimpi itu dan menemukannya didunia nyata. Dia mempunyai firasat akan terjadi sesuatu pula disana dan hal itu berkaitan dengan Hang Serunting adiknya.
Putri Dayang Merindu dan Putri Desta berlari-lari kecil menuruni tangga batu menuju pangkalan. Kegembiraan tertangkap jelas diwajah Putri Dayang Merindu ketika mendapati air sungai yang mengalir tenang lagi jernih itu, dalam otaknya cepat menghitung mundur kapan terakhir kalinya ia mandi di Pangkalan itu bersama teman-temannya. Pangkalan Batu, demikian pangkalan itu diberi nama oleh penduduk karena pangkalan itu satu-satunya yang menggunakan tangga batu didusun Padang Bindu itu, adalah tempat dimana 4 tahun lalu Putri Dayang Merindu bersama teman-temannya masih sering mandi serempak, mencuci piring ataupun pakaian, sebelum akhirnya ia diajak oleh Prabu Amir Rasyid ke Istana. Seperti hari ini sebenarnya dia ingin mengajak teman-temannya ke ayakh tapi itu tak mungkin ia lakukan.
Sesampainya dipangkalan, segera dua kakak beradik itu memakai basahan.
“Ayuk, maukah kita keulu jerambah dan hanyut-hanyutan kesini lagi…” Ajak Putri Desta
Tawaran yang disambut baik oleh Putri Dayang Merindu, mereka berdua menyusuri pinggir sungai kearah berlawanan dengan arus sungai. Mencoba memanfaatkan sebaik mungkin saat-saat berarti bagi Putri Dayang Merindu guna melepas kerinduannya pada Sungai Ogan.


Loading… Menunggu Pembaruan…



Tidak ada komentar:

Posting Komentar